Ketika Muhammadiyah didirikan pada tahun 1912, KH. M. Hasyim
Asy’ari dari Tebuireng, Jombang, menanyakan siapa pendirinya. Mendengar jawaban
KH. Ahmad Dahlan, beliau ganti bertanya, adakah orang itu santri yang bersama
beliau mengaji pada KH. Sholeh Darat (Semarang)? Ketika memperoleh kepastian
bahwa KH. Ahmad Dahlan itu adalah orang yang dimaksud tersebut, beliau
mengatakan tentu Muhammadiyah organisasi yang baik, karena tokoh pendiri
tersebut adalah orang baik. Hal ini dapat kita benarkan, kalau kita ikuti
sejarah Muhammadiyah. Tekanan pada pendidikan, kesehatan dan kegiatan-kegiatan
sosial menunjukkan hal itu dengan nyata.
Hal ini jugalah yang tampak dari pergaulan KH. M Bisri Syansuri,
ketika beliau menjadi anggota PBNU, dan praktis menguasai Majlis-Majlis Hukum
Agama (Majaalis al-Figh) --sebelum beliau membawa pendapat-pendapatnya ke forum
tersebut, beliau selalu pergi ke Yogyakarta, untuk memperdebatkannya dengan KH.
Hadjid dari Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah. Terkadang mereka bisa berdebat
selama tiga hari berturut-turut dan terkadang pula mereka bersama pergi ke
rumah KH. Adzkiya di Kroya (Pak Tua Ir. Musthofa Zuhad, dari PBNU sekarang)
untuk maksud yang sama. Baru setelah itu, KH. M. Bisri Syansuri memaparkan
"pendapatnya" kepada forum-forum di atas, yaitu setelah melalui
"uji-coba" dengan kedua orang tersebut. Kelihatan sekali, antara
mereka tidak ada jarak yang harus dijembatani, karena perbedaan pendapat di
antara mereka adalah hal yang biasa, seperti perbedaan pendapat dengan iparnya,
KH. A. Wahab Chasbulah.
Pertanyaan utamanya adalah, kita melihat keakraban tersebutkah
dalam menilai hubungan Muhammadiyah dan NU, atau justru sebaliknya? Justru yang
kita lihat sehari-hari, sikap fanatik baik dari orang-orang NU maupun dari
orang-orang Muhammadiyah sendiri, hingga terkadang tampak sebagai pertentangan
dan perpecahan, bukannya sebagai perbedaan. Ini sangat diperlukan, karena tanpa
memperoleh jawaban yang tepat, perpecahan dalam tubuh kedua organisasi Islam
terbesar di negeri kita itu tampak semakin menjadi-jadi. Tentu ini tidak kita
inginkan, sehingga kalau memang benar-benar keduanya berpecah dan bertentangan,
hendaknya dapat diarahkan kepada perbedaan saja. Ini adalah proses pendidikan
yang berlangsung lama, namun tak dapat terhindarkan.
Salah satu sebab mengapa tampak yang terjadi adalah pertentangan,
dan bukannya perbedaan, adalah akibat tekanan kedua-duanya atas institusi atau
lembaga, dalam hal ini kedua organisasi tersebut. Tekanan pada kelembagaan,
membawakan keharusan untuk mempertahankan kepentingan/interest kedua
perkumpulan tersebut, yang masing-masing bertabrakan satu sama lain. Pihak
sendiri harus dimenangkan, dan pihak lain harus di"kalah"kan. Jadilah
seolah-olah mereka saling berhadapan, padahal dalam kenyataan mereka menganut
corak kehidupan yang sama yaitu mementingkan akhlak/moralitas/etika. Terkenal
dengan ucapan H. Munawir Sadzali, mantan menteri agama kita, bahwa di Muhammadiyah
ada orang NU bernama Ahmad Azhar Basyir (Ketua Umum PP. Muhammadiyah saat itu,
dan di lingkungan PBNU ada orang Muhammadiyah bernama Abdurrahman Wahid), yang
membawakan pembaharuan-pembaharuan.
Bahwa kedua perkumpulan itu memiliki persamaan-persamaan penting,
jarang sekali diingat. Pertama, kedua-duanya mengacu pada tujuan kemaslahatan
umat, yang dalam literatur kita umumnya disebut kesejahteraan rakyat. Pembukaan
UUD kita, yang dibuat antara lain oleh tokoh-tokoh kedua organisasi itu,
merumuskan hal itu sebagai masyarakat adil dan makmur. Jadi, tak benarlah
ungkapan salah seorang Kyai NU; al-hamdulilah, keluarga besar kita semuanya
beraqidah Islam, minimal Muhammadiyah. Menanggapi hal ini, Ahmad Azhar Basyir
memberikan komentar, di Muhammadiyah juga banyak orang yang menganggap NU
minimal.
Aspek lain yang jarang dilihat orang, yakni perlakuan Keraton
Hamengkubuanan di Yogyakarta. Keraton tersebut "merangkul"
kedua-duannya, dengan menyantuni NU (melalui status "Masjid Pethok
Nagari" di Mlangi dan Wonokromo) serta tetap membiarkan KH. Ahmad Dahlan
menjadi penghulu keraton setelah mengadakan pembaharuan dengan mendirikan
Muhammadiyah. Jadi, baik tradisionalisme maupun pembaharuan sama-sama
memperoleh santunan dari keraton, yang sekarang bertambah dengan kebiasaan
"semaan" al-Qur’an yang dahulu dirintis oleh alm. Kyai Hamim Jazuli
(Gus Mik).
Kedua hal yang berbeda itu, yakni tradisionalisme Nu dan
pembaharuan Muhammadiyah, seringkali melupakan kita. Dari sesuatu yang sangat
penting: Islamisasi terbatas/limited Islamization --yang, dirintis Sultan Agung
Hanyokro Kusumo, dengan pemakaian hukum-hukum nikah figh sebagai
"peraturan" di keraton dan pemakaian bulan Muharom sebagai permulaan
tahun Saka, ini dilanjutkan oleh pimpinan keraton.
Tentunya, ini harus memperhitungkan kenyataan bahwa --untuk
beberapa dasa warsa, cara kehidupan "sekuler" yang tidak mau tahu
dengan ajaran agama sempat menerapkan dominasinya atas masyarakat kita,
termasuk keraton.
Dengan demikian jelaslah, bahwa keraton Hamengkubuanan memperlakukan
Muhammadiyah dan NU, sebagai sebuah budaya, dengan tidak mementingkan
institusinya. Ini adalah tindakan yang sangat bijaksana, yang sudah sepatutnya
ditiru dan dicontoh oleh para pimpinan kedua organisasi tersebut.
Dengan ungkapan lain, baik tradisionalisme NU maupun pembaharuan
Muhammadiyah haruslah diukur secara budaya, dan bukannya secara kelembagaan.
Bukankah kini anak-anak muda kedua belah pihak sering dihadapkan kepada
tantangan budaya modern yang menjauhkan mereka dari akar-akar budaya masa
lampau? Bukankah ini melupakan kita dari kenyataan adanya orang-orang
Muhammadinu, yang seringkali sudah tidak melihat relevansi pemisahan keduannya.
Kalau saja kita menjadi dewasa dalam hal ini, kita akan melihat keadaan NU dan
Muhammadiyah, bukannya pertentangan dan perpecahan antara keduanya.