1.
Muqaddimah
Bismillahirrahmanirrahim.
Segala puji bagi Allah, sebagai sebuah ungkapan rasa syukur atas segala
anugerahNya. Rahmat ta’dzim dan salam mudah-mudahan terlimpahcurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw. dan seluruh
keluarga beliau.
Apa
yang akan hadir dalam kitab ini, saya tuturkan beberapa hal antara lain:
Hadits-hadits tentang orang-orang yang mati, tanda-tanda hari kiamat,
penjelasan tentang sunnah dan bid’ah dan beberapa hadits yang berisi
nasehat-nasehat agama.
Kepada
Allah, Dzat Yang Maha Mulia kutengadahkan telapak tangan, kuberdoa dengan
sepenuh hati, kumohonkan agar kitab ini
memberikan manfaat untuk diri kami dan orang-orang bodoh semisal kami.
Mudah-mudahan Allah menjadikan amal kami sebagai amal shalih Liwajhillahil
Karim, karena Ia lah Dzat Yang Maha Pemurah, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Dengan segala pertolongan Allah Dzat yang disembah, penyusunan kitab ini
dimulai.
2.
Pasal Menjelaskan Tentang Sunnah dan Bid’ah
Lafadz
as-Sunnah dengan dibaca dhammah sin-nya dan diiringi dengan tasydid, sebagaimana
dituturkan oleh Imam al-Baqa’ dalam kitab Kulliyat-nya secara etimologi adalah
thariqah (jalan), sekalipun yang tidak diridhai.
Menurut
terminologi syara’ as-Sunnah merupakan
thariqah (jalan) yang diridhai dalam menempuh agama sebagaimana yang telah ditempuh
oleh Rasulullah Saw. atau selain beliau, yakni mereka yang memiliki otoritas
sebagai panutan di dalam masalah agama seperti para sahabat Ra.
Hal
ini didasarkan pada sabda Nabi Saw.: “Tetaplah kalian untuk berpegang teguh
pada sunnahku dan sunnahnya Khulafaur Rasyidin setelahku.
Sedangkan
menurut terminologi ‘urf adalah apa yang
dipegangi secara konsisten oleh tokoh yang menjadi panutan, apakah ia sebagai
nabi ataupun wali. Adapun istilah as-Sunni merupakan bentuk penisbatan dari
lafadz as-Sunnah dengan membuang ta’
untuk penisbatan.
Bid’ah
sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Zaruq di dalam kitab ‘Iddat al-Muridmenurut
terminologi syara’ adalah: “Menciptakan hal perkara baru dalam agama
seolah-olah ia merupakan bagian dari urusan agama, padahal sebenarnya bukan,
baik dalam tataran wacana, penggambaran maupun dalam hakikatnya.”
Hal
ini didasarkan pada sabda Nabi Saw.: “Barangsiapa menciptakan perkara baru
didalam urusanku, padahal bukan merupakan bagian daripadanya, maka hal itu
ditolak.”
Dan
sabda Nabi Saw.: “Dan segala bentuk perkara yang baru adalah bid’ah.”
Para
ulama rahimahullaah menjelaskan tentang
esensi dari makna dua hadits tersebut di atas dikembalikan kepada perubahan suatu hukum dengan mengukuhkan
sesuatu yang sebenarnya bukan merupakan ibadah tetapi diyakini sebagai konsepsi
ibadah. Jadi bukanlah segala bentuk pembaharuan yang bersifat umum. Karena
kadang-kadang bisa jadi perkara baru itu berlandaskan dasar-dasar syari’ah
secara asal sehingga ia menjadi bagian dari syari’at itu sendiri, atau
berlandaskan furu’us syyari’ah sehingga
ia dapat dianalogikan kepada syari’at.
Al-‘Allamah
Muhammad Waliyuddin asy-Syibtsiri dalam Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah
memberikan komentar atas sebuah hadits Nabi Saw.: “Barangsiapa membuat
persoalan baru atau mengayomi seseorang yang membuat pembaharuan, maka
ditimpakan kepadanya laknat Allah.”
Masuk
dalam kerangka interpretasi hadits ini yaitu berbagai bentuk akad-akad fasidah,
menghukumi dengan kebodohan dan ketidakadilan, dan lain-lain dari berbagai bentuk penyimpangan terhadap
ketentuan syara’.
Keluar
dari bingkai pemahaman terhadap hadits ini yakni segala hal yang tidak keluar
dari dalil syara’ terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah ijtihadiyah
dimana tidak terdapat korelasi yang tegas antara masalah-masalah tersebut
dengan dalil-dalilnya kecuali sebatas persangkaan mujtahid. Dan seperti menulis
Mushaf, mengintisarikan pendapat-pendapat imam madzhab, menyusun kitab nahwu
dan ilmu hisab.
Karena
itulah Imam Ibnu Abdis Salam membagi perkara-perkara yang baru itu ke dalam
hukum-hukum yang lima. Beliau berkata:
“Bid’ah
adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa
Rasulullah Saw. (Bid’ah tersebut adakalanya):
1. Bid’ah Wajibah: seperti mempelajari ilmu nahwu dan mempelajari
lafadz-lafadz yang gharib baik yang terdapat di dalam al-Quran ataupun
as-Sunnah, dimana pemahaman terhadap syari’ah menjadi tertangguhkan pada
sejauhmana seseorang dapat memahami maknanya.
2.
Bid’ah Muharramah: seperti aliran Qadariyah, Jabariyah dan Mujassimah.
3. Bid’ah Mandubah: seperti
memperbaharui sistem pendidikan pondok pesantren dan madrasah-madrasah, juga
segala bentuk kebaikan yang tidak dikenal pada zaman generasi pertama Islam.
4. Bid’ah Makruhah: seperti
berlebih-lebihan menghiasai masjid, menghiasi mushaf dan lain sebagainya.
5. Bid’ah Mubahah:
seperti bersalaman selesai shalat Shubuh dan Ashar, membuat lebih dalam makanan dan minuman, pakaian dan lain
sebagainya.”
Setelah
kita mengetahui apa yang telah dituturkan di muka maka diketahui bahwa adanya
klaim bahwa berikut ini adalah bid’ah, seperti memakai tasbih, melafadzkan
niat, membaca tahlil ketika bersedekah setelah kematian dengan catatan tidak
adanya perkara yang mencegah untuk
bersedekah tersebut, menziarahi makam dan lain-lain, maka kesemuanya bukanlah
merupakan bid’ah.
Dan
sesungguhnya perkara-perkara baru seperti penghasilan manusia yang diperoleh
dari pasar-pasar malam, bermain undian pertunjukan gulat dan lain-lain adalah
termasuk seburuk-buruknya bid’ah.
3.
Pasal Menjelaskan Penduduk Jawa Berpegang kepada Madzhab Ahlusunnah wal
Jama’ah dan Awal Kemunculan Bid’ah dan Meluasnya di Jawa serta Macam-macam Ahli
Bid’ah di Zaman ini
Umat
Islam yang mendiami wilayah Jawa sejak zaman dahulu telah bersepakat dan
menyatu dalam pandangan keagamaannya. Di bidang fiqh, mereka berpegang kepada
madzhab Imam Syafi’i, di bidang ushuluddin berpegang kepada madzhab Abu
al-Hasan al-Asy’ari, dan di bidang tasawwuf berpegang kepada madzhab Abu Hamid
al-Ghazali dan Abu al-Hasan asy-Syadzili, semoga Allah meridhai mereka semua.
Kemudian
pada tahun 1330 H timbul berbagai
pendapat yang saling bertentangan, isu yang bertebaran dan pertikaian di
kalangan para pemimpin. Diantara mereka ada yang berafiliasi pada kelompok
Salafiyyin yang memegang teguh tradisi para tokoh pendahulu. Mereka bermadzhab
kepada satu madzhab tertentu dan berpegang teguh kitab-kitab mu’tabar,
kecintaan terhadap Ahlul Bait Nabi, para wali dan orang-orang salih. Selain itu
juga tabarruk dengan mereka baik ketika masih hidup atau setelah wafat, ziarah
kubur, mentalqin mayit, bersedekah untuk mayit, meyakini syafaat, manfaat doa
dan tawassul serta lain sebagainya.
Diantara
mereka (yang muncul pada kisaran tahun 1330 H.), terdapat juga kelompok yang
mengikuti pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Mereka melaksanakan
kebid’ahan Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, Ahmad bin Taimiyah serta kedua
muridnya, Ibnul Qoyyim dan Abdul Hadi.
Mereka
mengharamkan hal-hal yang telah disepakati oleh orang-orang Islam sebagai
sebuah kesunnahan, yaitu bepergian untuk menziarahi makam Rasulullah Saw. serta
berselisih dalam kesepakatan-kesepakatan lainnya.
Ibnu
Taimiyah menyatakan dalam Fatawa-nya: “Jika seseorang bepergian dengan berkeyakinan
bahwasanya mengunjungi makam Nabi Saw.
sebagai sebuah bentuk ketaatan,
maka perbuatan tersebut hukumnya haram dengan disepakati oleh umat Muslim. Maka keharaman
tersebut termasuk perkara yang harus ditinggalkan.”
Al-‘Allamah
Syaikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muth’i menyatakan dalam kitabnya Thathhir
al-Fuad min Danas al-I’tiqad (Pembersihan Hati dari Kotoran Keyakinan) bahwa:
“Kelompok ini sungguh menjadi cobaan berat bagi umat Muslim, baik salaf maupun
khalaf. Mereka adalah duri dalam daging (musuh dalam selimut) yang hanya
merusak keutuhan Islam.”
Maka
wajib menanggalkan/menjauhi (penyebaran) ajaran mereka agar yang lain tidak
tertular. Mereka laksana penyandang lepra yang mesti dijauhi. Mereka adalah
kelompok yang mempermainkan agama mereka. Hanya bisa menghina para ulama, baik
salaf maupun khalaf.
Mereka
menyatakan: “Para ulama bukanlah orang-orang yang terbebas dari dosa, maka
tidaklah layak mengikuti mereka, baik yang masih hidup maupun yang telah
meninggal.”
Mereka
menyebarkan (pandangan/asumsi) ini pada orang-orang bodoh agar tidak dapat
mendeteksi kebodohan mereka.
Maksud
dari propaganda ini adalah munculnya permusuhan dan kericuhan. Dengan
penguasaan atas jaringan teknologi, mereka membuat kerusakan di muka bumi.
Mereka menyebarkan kebohongan mengenai Allah, padahal mereka menyadari
kebohongan tersebut. Menganggap dirinya melaksanakan amar makruf nahi munkar,
merecoki masyarakat dengan mengajak untuk mengikuti ajaran-ajaran syariat dan
menjauhi kebid’ahan. Padahal Allah Maha Mengetahui, bahwa mereka berbohong.
4.
Pasal Menjelaskan tentang Khitthah Ajaran Salaf Shaleh dan Menjelaskan
yang Dikehendaki “As-Sawadul A’dzam” di Era ini serta Menjelaskan Pentingnya
Berpegang Teguh pada Salah Satu Madzhab yang Empat
Dengan
pemahaman di atas, diketahui bahwa sesungguhnya kebenaran yang haqiqi itu
berpihak pada kalangan Salafiyyin generasi terdahulu yang berpijak pada
khitthah Salaf Shaleh. Merekalah
as-Sawadul A’dzam. Mereka
menyepakati konsepsi-konsepsi agama yang ditetapkan oleh ulama-ulama
Haramain Syarifain (Makkah dan Madinah) dan ulama-ulama al-Azhar yang mulia.
Kesemuanya adalah menjadi panutan kelompok Ahlul Haq. Di sana banyak ulama yang
tidak bisa dihitung berapa jumlahnya, karena menyebarnya tempat domisili mereka
di berbagai daerah, sebagaimana tidak
dapat bintang-bintang di langit.
Rasulullah
Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak akan menghimpun umatku di atas
kesesatan. Dan Yad Allah di atas al-Jama’ah.” (HR. at-Tirmidzi). Ibn Majah
menambahkan (riwayat): “Maka jika terjadi perselisihan, berpeganglah pada
as-Sawadul A’dzam yaitu al-haq dan ahlul haq.”
Di
dalam kitab al-Jami’ ash-Shaghir disebutkan: “Sesungguhnya Allah menyelamatkan
umatku dari bersepakat atas perbuatan sesat.”
Mayoritas
dari mereka adalah pengikut al-Madzahib al-Arba’ah (madzhab yang empat). Imam
Bukhari adalah bermadzhab Syafi’i. Beliau mengambil dari Imam Humaidi, az
-Za’farani dan Karabi’isi. Demikian juga
Imam Ibnu Khuzaimah dan Imam Nasa’i.
Imam
Junaid adalah pengikut Imam Tsauri, Imam Syibli adalah pengikut madzhab Maliki,
Imam Muhasibi adalah pengikut madzhab Syafi’i, Imam al-Jariry merupakan
penganut Imam Abu Hanifah (Hanafi), Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bermadzhab
Hanbali dan Imam Abu al-Hasan asy-Syadzili pengikut madzhab Maliki.
Maka
dengan mengikuti satu madzhab tertentu akan lebih dapat terfokus pada satu
nilai kebenaran yang haqiqi, lebih dapat memahami secara mendalam dan akan
lebih memudahkan dalam mengimplementasikan amalan. Dengan menentukan pada satu
pilihan madzhab inilah berarti ia telah pula melakukan jalan yang juga ditempuh
oleh salafunas shalih. Mudah-mudahan keridhaan Allah terlimpahcurahkan pada
mereka semua.
Kami
menghimbau kepada kawan-kawan kami, orang awam dari mayoritas kaum Muslimin
agar senantiasa bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa. Dan
senantiasa berharap agar tidak meninggalkan dunia yang fana ini kecuali sebagai
orang Islam.
Dan
agar melakukan rekonsiliasi dengan
orang yang berselisih antara
mereka, merekatkan tali persaudaraan, bersikap dan berperilaku baik terhadap
semua tetangga, kerabat dan seluruh teman, dapat memahami dan melaksanakan
hak-hak para pemimpin, bersikap santun dan belas kasihan terhadap kaum dhu’afa
dan kalangan wong cilik.
Kita
berusaha mencegah mereka dari segala bentuk permusuhan, saling benci-membenci,
memutuskan hubungan, hasut-menghasut, sekterianisme dan membentuk sekte-sekte
baru yang mengkotak-kotakkan agama.
Kami
menghimbau pada mereka semua untuk bersatu, bersahabat, tolong-menolong dalam
kebaikan, berpegang teguh pada agama Allah yang kokoh dan menghindari
perpecahan. Hendaknya tetap eksis berpedoman pada al-Kitab dan as-Sunnah, dan
apa saja yang menjadi tuntunan para ulama panutan umat semisal Imam Abu
Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal radhiyallaahu
‘anhum. Ijma’ menetapkan larangan keluar dari madzhab-madzhab mereka.
Hendaknya mereka juga berpaling dari segenap bentuk
organisasi-organisasi baru yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang
dibangun oleh Salafus Shalih. Rasulullah Saw.: “Barangsiapa memisahkan diri
(dari mayoritas) maka ia akan terpisah di neraka.”
Untuk
itu hendaknya mereka tetap konsisten memegangi al-Jama’ah ‘ala Thariqah
as-Salaf ash-Shalihin. Rasulullah Saw. bersabda: “Aku perintahkan pada kalian
semua untuk melaksanakan lima hal, dimana Allah telah memerintahkan hal itu
padaku, yakni bersedia untuk mendengarkan, taat dan siap untuk berjihad,
melakukan hijrah dan bergabung masuk dalam bingkai al-Jama’ah. Sesungguhnya
seseorang yang berpisah dari jamaah walaupun hanya sejengkal, berarti sungguh
ia telah melepaskan ikatan tali keislamannya dari lehernya.”
Sayyidina
Umar bin Khatthab Ra. berkata: “Berpegangteguhlah kalian semua pada al-Jama’ah.
Hindarkan diri kalian dari segala bentuk perpecahan. Karena sesungguhnya setan
ketika menyertai anda seorang diri saja, maka dengan sangat mudah ia
menaklukkannya dibanding ketika ia menyertai dua orang yang bersekutu.
Barangsiapa bermaksud dan ingin mendapat kenikmatan hidup di dalam surga maka
tetaplah bersama al-Jama’ah.”
5.
Pasal Menjelaskan Wajibnya Taqlid bagi Orang yang Tidak Memiliki
Keahlian untuk Berijithad
Menurut
pandangan jumhur ulama, setiap orang yang tidak memiliki keahlian untuk sampai
pada tingkat kemampuan sebagai mujtahid mutlak, sekalipun ia telah mampu
menguasai beberapa cabang keilmuan yang dipersyaratkan di dalam melakukan
ijtihad, maka wajib baginya untuk mengikuti (taqlid) pada satu qaul dari para
imam mujtahid dan mengambil fatwa mereka agar ia dapat keluar dan terbebaskan
dari ikatan beban (taklif) yang mewajibkannya untuk mengikuti siapa saja yang
ia kehendaki dari salah satu imam mujtahid. Sebagaimana difirmankan oleh Allah
Ta’ala: “Maka bertanyalah kalian semua kepada ahli ilmu jika kalian semua tidak
mengetahui.”
Allah
mewajibkan bertanya bagi orang yang tidak mengetahui. Nah bertanya itu
merupakan perwujudan sikap taqlid seseorang kepada orang yang alim. Firman
Allah ini berlaku secara umum untuk semua golongan yang dikhithabi (obyek
sasaran perintah).
Secara
umum pula, firman Allah ini mewajibkan kita untuk bertanya dan mempertanyakan
segala sesuatu yang tidak kita ketahui, sesuai dengan kesepakatan/konsensus
jumhurul ‘ulama. Karena sesungguhnya orang yang beridentitas awam itu pasti ada
sejak zaman generasi sahabat, tabi’in dan hingga zaman setelahnya. Mereka wajib
meminta fatwa kepada para mujtahid dan mengikuti fatwa-fatwa mereka dalam
hukum-hukum syari’ah dan mengimplementasikannya sesuai dengan petunjuk ulama.
Karena
sesungguhnya para mujtahid dan ulama bersegera menjawab pertanyaan mereka tanpa
memberi isyarah untuk menuturkan dalil. Para mujtahid dan ulama tidak melarang
orang awam minta fatwa tanpa ada
pengingkaran. Kondisi yang sedemikianlah yang lantas disepakati adanya
kewajiban bagi orang awam untuk mengikuti pendapat seorang mujtahid.
Dan orang awam itu tidak memiliki kemampuan dan
otoritas untuk memahami al-Kitab dan as-Sunnah dan tentunya pemahamannya
tidaklah dapat diterima jika tidak cocok dengan pemahaman ulama ahlul haq yang
agung dan terpilih.
Karena
sesungguhnya orang yang ahli bid’ah dan orang yang sesat, mereka memahami
hukum-hukum secara bathil dari al-Kitab dan as-Sunnah. Pada kenyataannya apapun
yang diambil oleh ahli bid’ah tidaklah dapat dipegangi sebagai kebenaran.
Bagi
orang awam tidak diwajibkan untuk tetap konsisten mengikuti satu madzhab saja
dalam menyikapi setiap masalah baru yang muncul. Walaupun ia telah menetapkan
untuk mengikuti satu madzhab tertentu seperti madzhabnya Imam Syafi’i
rahimahullaahu,tidaklah selamanya ia harus mengikuti madzhab ini. Bahkan
diperkenankan baginya untuk pindah pada madzhab yang lain selain madzhab
Syafi’i.
Seorang
awam yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pengkajian masalah dan
istidlal (melakukan pencarian sumber dalil) atau ia juga tidak memiliki
kemampuan membaca sebuah kitabpun yang ada sebagai referensi dalam sebuah
madzhab, lantas ia mengatakan bahwa saya adalah bermadzhab Syafi’i, maka
pernyataan yang sedemikian itu tidaklah absah sebagai pengakuan bilamana hanya
sekedar ucapan belaka.
Tetapi
menurut sebuah pendapat yang lain menyatakan bahwa ketika seorang awam itu
konsisten mengikuti satu madzhab tertentu maka wajiblah baginya untuk
menetapkan madzhab pilihannya. Karena jelas seorang awam itu meyakini bahwa
madzhab yang ia pilih adalah madzhab yang benar. Maka konsekuensi yang harus ia
terima adalah wajib menjalankan apa yang menjadi ketentuan madzhab yang ia
yakini.
Bagi
seseorang yang taqlid boleh mengikuti
selain imamnya dalam sebuah masalah yang timbul padanya. Misalnya saja ia
taqlid pada satu imam dalam melaksanakan shalat Dzuhur, dan ia taqlid dan
mengikuti imam lain dalam melaksanakan shalat Ashar.
Jadi
taqlid setelah selesainya melakukan sebuah amal atau ibadah adalah boleh. Untuk
memahami hal ini dapatlah digambarkan sebuah masalah: “Bila seorang yang
bermadzhab Syafi’i melakukan shalat dan ia menyangka atas keabsahan shalatnya
menurut pandangan madzhabnya, ternyata kemudian menjadi jelas bahwa shalatnya
adalah batal menurut madzhab yang dianutnya dan sah bila menurut pendapat yang
lain, maka baginya boleh langsung taqlid pada madzhab lain yang mengesahkan
shalatnya. Dengan demikian cukup terpenuhilah kewajiban shalatnya.”
6.
Pasal Menjelaskan Perpecahan Umat Nabi Muhammad Saw. Menjadi 73 Sekte
dan Penjelasan tentang Pokok-pokok Sekte yang Sesat dan Penjelasan Golongan
yang Selamat, Yakni Ahlussunnah wal Jama’ah
Imam
Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah telah meriwayatkan sebuah hadits dari Abu
Hurairah Ra., sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda: “Kaum Yahudi telah
terpecah menjadi 71 golongan, dan kaum Nasrani terpecah menjadi 72 golongan,
dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semua golongan tersebut masuk
neraka kecuali hanya satu golongan saja. Para sahabat bertanya: “Siapa (satu
golongan yang selamat itu) wahai Rasulullah?” Rasulullah Saw. menjawab:
“Golongan yang selamat itu adalah kelompok yang komitmen dalam mengikutiku dan
para sahabatku.”
Imam
Syihab Khafaji rahimahullah berkata di dalam kitabnya Nasim ar-Riyadh:“Golongan
yang selamat itu adalah kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah.”
Dalam
kitab Hasyiyah asy-Syanwani ‘ala Mukhtashar Ibn Abi Jamrah dinyatakan bahwa
golongan yang selamat itu adalah mereka yang berafiliasi kepada Imam Abu
al-Hasan al-Asy’ari dan jamaahnya yaitu Ahlussunnah dan aimmatul ‘ulama. Karena
Allah Ta’ala telah menjadikan
mereka sebagai hujjah bagi makhlukNya.
Dan kepada merekalah masyarakat memiliki kecondongan dalam mengembalikan
berbagai permasalahan agama mereka.
Golongan
inilah yang dikehendaki Rasulullah Saw. dengan sabda beliau:“Sesungguhnya Allah
tidak akan mengumpulkan ummatku untuk sepakat dalam berbuat kesesatan.”
Imam
Abu Mansur bin Thahir at-Tamimi dalam menjelaskan hadits ini mengemukakan:
“Sungguh orang-orang yang memiliki maqalah ini mengetahui bahwa Rasulullah Saw.
tidak bermaksud mengidentifikasi golongan yang tercela itu ditujukan kepada
golongan yang berselisih dalam menyikapi masalah-masalah fiqh yang bersifat
furu’iyyah, yang berkaitan dengan hukum halal dan haram. Akan tetapi beliau
Saw. menghendaki dengan pencelaan tersebut untuk orang yang menentang ahlul haq
di dalam permasalahan dasar-dasar tauhid, di dalam masalah taqdir baik dan
buruk, di dalam memberikan batasan-batasan/syarat-syarat kenabian dan
kerasulan, di dalam masalah bagaimana mencintai para sahabat, dan hal apa saja
yang berkaitan dengan masalah-masalah tersebut di atas. Karena mereka yang
berselisih dalam masalah-masalah ini telah saling mengkafirkan satu sama
lainnya. Berbeda dengan perselisihan yang terjadi pada golongan pertama. Mereka
berbeda pendapat dalam masalah-masalah fiqh tanpa mengkafirkan yang lain dan
tanpa menfasiq-kan golongan lain yang berbeda pendapat. Oleh karena itulah
interpretasi yang benar adalah disandarkan pada perbedaan-perbedaan pendapat
macam ini (perbedaan aqidah, bukan perbedaan furu’iyyah dalam fiqh).”
Pada
masa akhir era sahabat terjadilah
perselisihan, yaitu Qodariyyah yang dicikalbakali oleh Ma’bad al-Juhani dan para pengikutnya. Dalam
perselisihan ini sejumlah sahabat mutaakhirin berlepas tangan dari golongan
tersebut, seperti Abdullah bin Umar, Jabir, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhum
ajma’in dan lain-lain.
Setelah
itu, bermuncullah perbedaan-perbedaan pendapat, dan sedikit demi sedikit hingga
sempurnalah perpecahan di antara ummat Islam itu menjadi 72 golongan yang
sesat, dan golongan yang ke 73 adalah Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai kelompok
yang selamat.
Jika
ditanyakan: “Apakah sekte-sekte itu kesemuanya diketahui dan populer di
tengah-tengah kita?” Maka jawabannya: “Kita mengetahui perpecahan dan pokok-pokok sekte-sekte tersebut, dan kita
mengetahui setiap kelompok dari sekte-sekte tersebut terbagi lagi dalam
beberapa kelompok, walaupun secara detail kita tidak mengetahui nama dari
masing-masing sekte itu sekaligus madzhab yang mereka anut masing-masing.”
Pokok-pokok
sekte tersebut ialah golongan Haruriyah,
Qadariyah, Jahmiyah, Murji’ah, Rafidhah dan Jabariyah. Sebagian dari ahli ilmu
menegaskan bahwa pokok-pokok sekte yang sesat adalah enam golongan tersebut.
Masing-masing dari 6 kelompok terpecah menjadi 12 sekte hingga terhitunglah jumlah
menjadi 72 sekte.
Imam Ibnu Ruslan rahimahullaah berkata: “Sebuah
pendapat mengemukakan bahwa secara rinci golongan-golongan tersebut dapat
diklasifikasikan menjadi 20 golongan. Diantara mereka termasuk golongan
Rawafidh (Rafidhah), 20 sekte golongan Khawarij, 20 golongan Qadariyah, 7
golongan Murji’ah dan satu golongan Najjariyah. Masing-masing itupun
tersekat-sekat menjadi lebih dari 10 golongan, tetapi perpecahan
kelompok-kelompok itu hanya dihitung sebagai satu sekte, dan satu golongan
Haruriyah, dan satu golongan Jahmiyah, dan 3 golongan Karramiyah. Dari rincian
inilah secara keseluruhan terhitung jumlah sekte adalah 72 golongan._____________
Sumber Penulisan: Irsyad as-Sari fi Jam’ Muallafat aasy-Syaikh Hasyim Asy’ari halaman 5-24