SUDAH bukan rahasia lagi bahwa Mantan Presiden Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) yang kiai itu suka berziarah ke tempat atau makam suci, dan percaya
pada pesan-pesan gaib. Begitu terpilih sebagai presiden, ia langsung ziarah ke
makam Kiai Mutamakin di Pati. Terakhir, sebelum berkunjung ke Australia, ia
berziarah ke makam Sunan Ngundung di Trowulan, Mojokerto. "Saya datang ke
sini memang karena dipanggil Mbah Usman Ngundung. Sebenarnya banyak juga ulama
yang dimakamkan, tapi yang manggil saya cuma Mbah Usman Ngundung," kata
Gus Dur apa adanya. Dua hari kemudian, Menteri Pertahanan (Menhan) Mohammad
Mahfud MD membeberkan, ada tiga hal yang menjadi landasan bagi Presiden dalam
setiap pengambilan keputusan. Pertama, realitas politik. Kedua, mendengar
nasihat resmi maupun tidak resmi. Ketiga, demikian papar Mahfud sendiri,
Presiden sering mendasarkan keputusannya pada pesan gaib dari langit yang
datang melalui mimpi.
Mahfud mengaku, ia sendiri sering tidak paham dengan jalan pikiran
Abdurrahman Wahid karena kelihatan aneh dan secara logika tidak masuk akal.
Akan tetapi, Menhan yang profesor itu toh sempat berkomentar, Presiden ternyata
dapat mengelola pesan dari langit itu secara baik dan apa yang dilakukan
Presiden biasanya benar. (Kompas, 25/6/2001)
MENGHUBUNGKAN kekuasaan dan politik di satu pihak dengan mimpi atau
pesan gaib di lain pihak bukanlah hal aneh dan baru dalam sejarah kekuasaan di
Indonesia, khususnya Jawa. Ambil saja contoh kisah Jaka Tingkir alias Mas
Karebet. Ia bermimpi bertemu dengan Sunan Kalijaga, yang menyuruhnya mengabdi
pada Sultan Trenggono di Demak. Pesan gaib itulah awal yang menuntunnya menjadi
Sultan Hadiwijaya, penguasa Kerajaan Pajang. Atau kisah Pangeran Mangkubumi
yang bermimpi kejatuhan rembulan. Mimpi ini yang menguatkannya dalam
pemberontakan melawan dinasti Paku Buwono, dan kemudian ia menyatakan dirinya
sebagai Sultan Hamengku Buwono (HB) I yang merajai Mataram.
Kisah serupa berlanjut sampai ke zaman Bung Karno. Menjelang
kemerdekaan, paling tidak sudah tiga kali Bung Karno berkunjung ke Menang,
Kediri, yang kini dianggap sebagai petilasan Raja Jayabaya. Demikian pernah
dikatakan saksi mata Lasi Suharjo, yang pada waktu itu menjabat kamituwo Dusun
Menang, kepada penulis. "Sowanku mrene perlu nyuwun wahyune kraton, ayo
padha bantunen (Saya datang ke sini untuk meminta wahyu keraton, kalian
hendaknya membantu saya)," tutur Pak Lasi menirukan ucapan Bung Karno pada
orang-orang yang menyertainya. Bung Karno hening sekitar tujuh menit, lalu
bilang, "Wis kepareng, ayo padha mundur (Sudah dikabulkan, mari kita
pergi)," kata Bung Karno lagi. Tak lama kemudian Pak Lasi mendengar kabar,
Bung Karno sudah ngibaraken (mengumumkan) proklamasi (Sindhunata, Bayang-bayang
Ratu Adil, 1999, hlm 22-23).
Zaman Presiden Soeharto pun wangsit itu tetap berperan. Demikian,
misalnya, dituturkan Mbah Tomo, abdi dalem Keraton Yogyakarta, yang menjaga
petilasan Kembang Lampir. Petilasan ini dipercaya sebagai tempat turunnya dua
wahyu Kerajaan Mataram, yakni wahyu Gagak Emprit untuk Ki Ageng Pemanahan, yang
membangun Mataram, dan wahyu Panca Purba untuk Senapati, Raja Mataram.
Waktu itu Mbah Tomo dimintai tolong oleh Sri Sultan HB IX, agar ia
ikut membangun negara. Di Kembang Lampir ia mendapat wangsit, bunyinya,
"Negaramu wis dadi. Gubuke dandanana, wringine siramana. Sri Narendra, Pak
Harto, Sri Naranta, Sultan Kaping Sanga". Artinya: negaramu sudah jadi.
Perbaikilah gubuknya, siramilah pohon beringinnya. Rajanya Pak Harto, wakilnya,
Sultan IX. Menurut Mbah Tomo, negara menjadi kuat karena wahyu itu. Pak Harto
dan Sri Sultan HB IX saling melengkapi. Pak Harto membangun negara, dan Sri
Sultan HB IX menuntunnya untuk tidak meninggalkan kebudayaan (Ibid, hlm 39-40).
Atas beberapa alasan, Presiden Abdurrahman Wahid tidak dapat
digolongkan ke dalam tradisi di atas begitu saja. Pertama, jauh sebelum menjadi
presiden, Gus Dur memang sudah suka berziarah dan percaya pada hal-hal yang
gaib. Namun, hal itu dilakukannya bukan dalam rangka mengejar dan menumpuk
kekuasaan, melainkan semata-mata demi kerinduan dan pengkayaan batin.
Kedua, lain dari Bung Karno atau Soeharto, Gus Dur bukan orang yang
banyak hidup dari tradisi kejawen, tetapi lebih dari tradisi pesantren, yang
justru sangat kritis terhadap kejawen.
Patut diingat bahwa hubungan pesantren dan kejawen tak bisa
dilepaskan dari tradisi tasawuf Islam. Seperti dikemukakan oleh Mohammad Damami
MA, dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, pesantren adalah
lembaga yang sangat berjasa dalam menyebarkan "Islam kultural".
Namun, selain itu pesantren adalah lembaga yang menjaga dan memelihara tradisi
tasawuf Islam.
Menurut Prof Dr Simuh, juga dosen pada Fakultas Ushuluddin di atas,
sejak awal kedatangannya pada abad ke-13 Masehi, ajaran Islam yang masuk ke
Indonesia sangat didominasi dengan ajaran dan tradisi tasawuf. Dominasi ajaran
Islam tasawuf itu tampak jelas dengan munculnya sastra Islam Melayu seperti
syair-syair Hamzah Fanzuri dan sastra Islam kejawen seperti pituture (ajaran)
Seh Bari pada abad ke-16.
Menurut Damami, tasawuf Islam yang dikembangkan di dalam tradisi
besar pesantren adalah counterpart (rekan imbangan) bagi mistik Islam kejawen.
Patut diingat, kini Islam kejawen sebagaimana dikembangkan oleh tradisi besar
kerajaan Jawa dalam arti tertentu telah mengalami kemandekan. Karena itu, di
masa depan, lebih daripada sebagai rekan imbangan, tasawuf Islam kiranya perlu
mengambil posisi eksposisif. Pengambilan posisi macam ini bukan dimaksudkan
untuk me-non-aktifkan hak hidup mistik Islam kejawen, melainkan justru untuk
ikut mempertahankan reputasi bahwa kebudayaan Jawa pernah memiliki khazanah
mistik yang bermanfaat bagi zamannya.
Sikap moderat Gus Dur terhadap kejawen dan Islam kejawen kiranya
boleh dilihat dari kacamata di atas. Penghayatan teguh terhadap tradisi tasawuf
Islam, serta sikap terbuka terhadap mistik Islam kejawen itulah yang membuat
Gus Dur percaya pada hal-hal yang tak dapat diterangkan dengan akal
semata-mata.
PADA manusia pendalaman, tasawuf jelas memberikan kemampuan
"di luar" pengetahuan akal. Kemampuan inilah yang dimiliki banyak
kiai NU selain Gus Dur. Dulu sebelum Gus Dur jadi presiden, penulis sudah kerap
mendengar kisah-kisah yang rasanya "irasional" itu. Beberapa kiai
menyampaikan simbol-simbol yang diterima dalam mimpinya. Gus Dur langsung
menangkap apa makna dan bakal peristiwa apa yang terkandung dalam simbol itu.
Kemudian, ia mewujudkan penangkapannya itu dalam tindakan sosial atau politik
yang nyata. Ternyata, banyak tindakan Gus Dur yang waktu itu terbukti jitu.
Pendalaman tasawuf para kiai NU kiranya juga makin mendekatkan
mereka pada kisah-kisah Quran, hadits dan hikmah-hikmah Islam yang dikemukakan
dalam bentuk tamsil, i'tibar atau perumpamaan. Misalnya, peristiwa waktu Ketua
PB NU Hasyim Muzadi datang ke Pondok Al Munawir, Krapyak, Bantul, Yogyakarta,
April 2001. Di hadapan para kader NU setempat, Muzadi sempat menceritakan
tentang firasat yang diterima oleh seorang ulama khos, sebelum warga nahdliyin
mengadakan istigotsah akbar pertama di Surabaya tahun 1996. Menurut firasat
ulama tersebut, Indonesia akan mengalami krisis panjang, seperti diriwayatkan
dalam kisah Nabi Yusuf.
Seperti pernah ditulis Hairus Salim, alumnus Pondok Pesantren Al
Falah, Banjar Baru, Kalimantan Selatan, para santri yang pernah belajar di
pesantren akan dengan cepat dan mudah menangkap, bila mereka mendengar seorang
kiai bercerita semacam itu (Lihat. Hairus Salim, Hikmah Kisah Yusuf dalam
Krisis, Ulama Jangan Diam, dalam Basis (1998), 47, hlm 28-34). Dalam Kisah
Yusuf diceritakan, waktu itu Qifthir, Raja Mesir bermimpi melihat tujuh ekor
sapi gemuk dimakan oleh tujuh sapi kurus. Selain itu ia juga melihat tujuh
tangkai gandum subur dan tujuh tangkai gandum kering. Raja tak mengerti arti
mimpi itu, lalu ia meminta Yusuf mentakwilkannya.
Yusuf menjelaskan, tujuh tahun lamanya negara akan mengalami
kemakmuran, ternak berkembang, tanaman subur, dan rakyat akan bahagia. Namun,
tujuh tahun kemudian, rakyat akan mengalami kesengsaraan, tanaman tidak
berbuah, ternak tak berkembang biak. Tetapi, setelah kedua masa itu berlalu,
akan datanglah masa yang makmur, tenteram, dan bahagia. Yusuf berpesan, selama
tujuh tahun makmur, hendaknya rakyat menyimpan gandum untuk mengatasi kelaparan
yang akan datang pada tujuh tahun berikutnya.
Dalam terang kisah Yusuf ini, jelaslah apa yang ingin disampaikan
oleh firasat ulama khos seperti didengar Hasyim Muzadi di atas: krisis
Indonesia masih akan berlangsung, mungkin masih panjang, karena itu hendaknya
rakyat makin berhati-hati.
SESUNGGUHNYA, kepercayaan pada mimpi atau pesan gaib, yang mungkin
masih diyakini oleh banyak warga nahdliyin, adalah hal yang bisa dicari
dasarnya dalam Quran. Demikian dikatakan oleh Nuruddin Amin, Ketua Pimpinan
Wilayah Gerakan Pemuda Ansor DIY, dalam omong-omong dengan penulis seputar
masalah "mimpi Gus Dur", di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta,
baru-baru ini.
Nuruddin memberi contoh, misalnya, dari kisah yang melatarbelakangi
peringatan Idul Kurban. Suatu saat Nabi Ibrahim bermimpi, lalu ia bilang kepada
anaknya, Ismail, "Wahai anakku, aku bermimpi menyembelihmu. Bagaimana
pendapatmu?" (Surat As-Shaffat, ayat 102). Karena mimpi itu, kemudian
Ibrahim hendak mengorbankan Ismail. Allah memandang kesetiaannya, lalu
menggantikan Ismail dengan domba.
Atau dari kisah Nabi Yusuf. Diceritakan suatu hari Yusuf bilang
pada Ya'qub, bapaknya, "Wahai Bapakku, aku melihat sebelas bintang,
matahari, dan bulan bersujud kepadaku." (Surat Yusuf, ayat 4). Kelak,
Yusuf memang menjadi pimpinan yang berkuasa dan bijak. Bahkan Raja Mesir pun
takluk pada firasat kebijaksanaannya.
Tetapi patut diingat, tidak sembarang mimpi boleh dituruti. Di sini
Nuruddin mengingatkan, dalam Islam ada yang disebut Al-Ru'ya al-shalihah, yang
artinya adalah mimpi yang benar. Hanya mimpi yang benarlah yang boleh dituruti.
Memang sulit menentukan, manakah mimpi atau firasat yang benar itu. Untuk
menentukan kriteria mimpi yang benar itu, Nuruddin memaparkan kisah Syekh Abdul
Qodir al-Jaelani, tokoh sufi, yang menjadi panutan tarekat Qadiriyah ini:
Suatu hari Abdul Qodir melihat tulisan di langit, bunyinya
"Abahtu laka al-muharramat" (Aku halalkan untukmu perkara-perkara
yang telah aku larang). Membaca tulisan itu, Abdul Qodir langsung membentak,
"Ikhasya' ya la'in" (Keparat kamu-setan-yang terkutuk). Ketika
santrinya bertanya, mengapa ia membentak seperti itu, Abdul Qodir menjawab,
"Innallaha la ya'muru bil fahksya" (Sesungguhnya Tuhan tidak akan
memerintahkan sesuatu yang keji). Memang, tidaklah mungkin Tuhan menghalalkan
apa yang dilarang-Nya.
Kisah Abdul Qodir al-Jaelani itu menjelaskan bahwa baik buruknya
suatu mimpi hanya bisa dilihat dari akibatnya untuk hidup sesama. Mimpi itu
baik, karena ia membawa al-Maruf, kebaikan, bagi kehidupan sesama, karena itu
boleh dituruti. Mimpi itu jelek, karena ia membawa al-Mungkar, kejelekan, bagi
kehidupan bersama, karena itu tidak boleh dituruti.
DARI uraian-uraian di atas bolehlah kita menyimpulkan bahwa
penglihatan, mimpi, dan pesan gaib adalah pengetahuan religius, yang lahir dari
pengalaman mistik. Betapa pun "irasionalnya", pengetahuan religius-mistik
itu adalah suatu pengetahuan, yang melekat pada hidup manusia religius.
Menurut teolog Perancis Henri de Lubac, pengetahuan mistik itu
lokasinya adalah roh, lain dengan pengetahuan filsafat yang lokasinya adalah
rasio. Sifat pengetahuan mistik itu adalah affektif dan vital, berbeda dengan
pengetahuan filsafat yang rasional. Cara manusia memperoleh pengetahuan mistik
itu adalah menunggu dan pasif, sementara pengetahuan filsafat diraih dengan
mencari dan aktif. Kendati berbeda, kedua pengetahuan itu tidaklah
bertentangan. Justru dalam pengetahuan mistiklah, pengetahuan manusia dapat
melompat meraih kepenuhannya. Karena itu, dalam istilah De Lubac, lompatan
mistik itu bukanlah suatu luxus.
Jadi betapa pun "irasionalnya", pengetahuan mistik itu
sungguh nyata dalam realitas pengalaman manusia. Mungkin itulah pengalaman Gus
Dur, sampai ia sebagai seorang intelektual dapat menerima segala wisik yang
kelihatannya tak masuk akal. Mungkin pengalaman itu pula yang membuat Gus Dur
yakin, bahwa realitas sosial dan politik di Indonesia tidak dapat diterangkan
dengan akal semata-mata. Memang, jauh sebelum menjadi presiden, Gus Dur sering
bilang, bahwa teori politik mana pun tidak bisa menjelaskan fenomena politik di
Indonesia. Fenomena politik Indonesia demikian kompleks karena mencakup hal-hal
mistis yang berada di luar rasionalitas politik.
Pendapat di atas kiranya bisa dipahami dengan lebih persis dengan
mengacu pada pemikiran Emile Durkheim. Menurut Durkheim, institusi manusiawi
seperti agama bukanlah akibat dari khayalan manusia saja. Bisa saja agama
terbentuk karena mimpi, angan-angan dan visi manusia, yang mungkin bertentangan
dengan akal. Tapi agama demikian ini paling tidak berfungsi dalam memenuhi
suatu tuntutan atau tujuan pembentukan masyarakat.
Karena itu betapa pun irasionalnya, realitas yang rasanya mistis
itu tidak boleh diabaikan begitu saja. Realitas macam ini mungkin yang
mendukung Gus Dur, sampai ia begitu yakin akan posisinya. Sekaligus, ia minta,
agar lawan-lawan politiknya tidak melalaikan realitas itu. Memang, melalaikan
realitas itu bukan hanya berarti melalaikan sejarah dan meniadakan apa yang
benar-benar ada, tapi juga membawa risiko perlawanan yang luar biasa. Maklum,
mereka yang hidup dalam realitas itu tak lagi akan mempergunakan akal, tapi
perasaan, angan-angan, firasat, yang bisa menjadi sumber inspirasi untuk
bertindak nekat dan berani, bila mereka merasa ditiadakan.
Tetapi, di lain pihak patutlah diingat, jangan sampai Gus Dur dan
pengikutnya menjadikan alasan di atas sebagai pembenaran untuk mengokohkan
posisinya semata-mata. Memang, banyak orang maklum, selama Orde Baru banyak
warga nahdliyin "dilukai" oleh kekuasaan yang mengandalkan
rasionalitas akal semata-mata. Di zaman reformasi ini pun mereka masih merasa
"dilukai" dengan cara serupa.
Tidaklah benar, jika untuk mengobati "luka" itu orang
menggunakan hal-hal di luar rasio manusia. Kata Juergen Habermas, luka yang
disebabkan oleh rasio, harus disembuhkan lewat rasio pula.
Rasio di sini bukanlah rasio kekuasaan yang bisa dengan mudah
beralih rupa menjadi mitos kekuasaan, tetapi rasio yang toleran dan terbuka.
Dengan rasio yang terakhir ini, mereka yang rasional akan makin menjadi
rasional, jika mereka mau sabar dan menerima apa yang tidak atau belum terlalu
rasional.
Mereka yang mistis dan mungkin "irasional", akan menjadi
makin rasional, jika mereka terbuka pada tuntutan rasio dan tidak mengukuhi
hal-hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
Tampak bahwa panggung politik, di mana sedang terjadi pertentangan kelompok
Gus Dur dan kelompok lawan politiknya, bukanlah pertentangan politik
semata-mata, tapi juga pertentangan penghayatan religius dan keyakinan
rasional. Yang bisa mengatasi pertentangan ini bukanlah penghayatan dan
keyakinan masing-masing pihak tetapi rasio yang terbuka dan toleran.
Memang saat ini panggung politik kita sedang menjadi ajang bagi
fides quaerens intellectum, iman yang sedang menantang akal. Memutlakkan
intellectum akan berakibat kejumawaan yang fatal. Memutlakkan fides akan
berakibat kekanak-kanakan yang tidak masuk akal. Bila nanti dengan intellectum
kita dapat memberi jawaban terhadap tantangan fides, saat itulah kita akan
mengalami pencerahan.