Abdullah bin Al-Faraj adalah seorang yang tekun beribadah dan
dikenal sebagai orang yang shalih. Dia hidup pada masa pemerintahan Khalifah
Harun Al-Rasyid.
Suatu ketika Abdullah bin Al-Faraj mempunyai barang-barang yang
harus dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain di dalam rumahnya. Untuk
mengerjakan hal tersebut, ia memerlukan seorang pekerja serabutan. Maka ia pun
segera pergi ke pasar untuk mencarinya. Setelah mencari ke sana ke mari di
dalam pasar, akhirnya ia menemukan seorang pemuda berwajah pucat pasi sedang
membawa keranjang besar dan sekop. Pemuda itu mengenakan jubah dan selembar
kain sarung yang keduanya terbuat dari bulu domba. Maka Abdullah menghampiri
pemuda tersebut dan bertanya kepadanya, “Maukah engkau bekerja untukku?”
“ya,” jawab pemuda itu singkat.
“Berapa imbalannya yang kau minta?” tanya Abdullah kepadanya.
“Satu seperenam dirham,” jawab pemuda itu singkat.
“Baiklah kau dapat bekerja untukku” kata Abdullah.
Tiba-tiba pemuda itu berkata,”Ada satu syarat!”
“Apa syarat yang engkau minta?” jawab Abdullah.
“Bila waktu shalat dzuhur telah tiba dan mu’adzin telah pula
mengumandangka adzan, aku akan keluar untuk mengambil air wudlu dan kemudian
menunaikan shalat berjama’ah di masjid, setelah itu aku kembali melanjutkan
pekerjaanku. Demikian juga bila telah tiba waktu shalat ashar,” jawab pemuda
itu tersebut.
“Ya boleh,”Jawab Abdullah singkat.
Setelah berkata demikian, Abdullah bin Al-Faraj pun mengajaknya
pulang ke rumah untuk memulai pekerjaannya. Sesampainya di rumah, pemuda itu
pun segera bekerja memindahkan barang-barang dari satu tempat ke tempat yang
lain. Dia bekerja dengan rajin dan tidak pernah sedikitpun mengajak Abdullah
berbicara. Ketika adzan dzuhur telah dikumandangkan, pemuda tadi lalu berkata
kepada Abdullah, “Wahai Abdullah Mu’adzin telah mengumandangkan adzan!”
“Silahkan” kata Abdullah kepadanya.
Pemuda itu pun segera keluar menuju ke masjid untuk segera menunaikan
shalat dzuhur berjama’ah bersama kaum muslimin termasuk Abdullah. Ketika
keperluannya di masjid sudah selesai, pemuda itu segera kembali pergi kerumah
Abdullah bin Al-Faraj. Di sanapun ia bekerja kembali dengan rajin sepanjang
siang.
Waktu ashar pun tiba, dan adzan untuk mengajak kaum muslimin shalat
berjama’ah di masjid pun berkumandang. Maka pemuda itu pun menghentikan
pekerjaannya, dan berkata kepada Abdullah, sang Mu’dzin telah mengumandangkan
adzan!”
“Silahkan” kata Abdullah.
Pemuda itupun keluar menuju masjid untuk menunaikan shalat Ashar
bersama kaum muslim lainnya.. usai menunaikan shalat ia pun kembali meneruskan
pekerjaannya hingga hari menjelang sore. Setelah menyelesaikan pekerjaannya,
Abdullah pun menyerahkan upahnya dan menyuruhnya pulang.
Selang beberapa hari kemudian, Abdullah bin Al-Faraj membutuhkan
lagi seorang pekerja serabutan. Istrinya pun berkata kepadanya, “Carilah
kembali pemuda yang pernah bekerja kepada kita, karena lewat pekerjaannya itu
dia telah banyak memberikan nasihat kepada kita !”
Mendengar saran istrinya tersebut, Abdullah segera pergi kepasar.
Sesampainya di pasar, dicarinya pemuda berwajah pucat pasi yang beberapa hari
yang lalu pernah bekerja di rumahnya. Namun setelah ia mencarinya kesana
kemari, tak ditemukannya pemuda itu. Maka bertanyalah Abdullah kepada
orang-orang dipasar perihal pemuda tersebut. Mereka yang ditanyai oleh abdullah
menjawab, “Mengapa Anda menanyakan si pemuda pucat yang celaka itu? Dia datang
kesini hanya setiap hari sabtu dan kedatangannya itu pun hanya sekedar untuk
duduk saja hingga semua orang kembali ke rumah masing-masing”. Mendengar
jawaban mereka, Abdullah memutuskan untuk kembali ke rumahnya dan memutuskan
akan mencarinya lagi pada hari sabtu.
Pada hari sabtu, Abdullah bin Al-Faraj pergi ke pasar untuk mencari
pemuda tersebut. Ternyata memang benar kata orang-orang, pemuda itu memang
berada di sana. Segeralah Abdullah bin Al-Faraj menghampirinya dan menanyainya,
“Maukah engkau bekerja lagi untukku?”
“Aku yakin Anda telah mengetahui berapa upah dan syarat-syarat yang
kuajukan kepada Anda,” jawab pemuda itu.
“Mengenai hal tersebut, aku telah memohon petunjuk kepada Allah,”
kata Abdullah.
Pemuda itu pun berdiri dan mengikuti Abdullah bin Al-Faraj ke
rumahnya. Setelah sampai di rumah, pemuda itupun segera bekerja dengan rajin
sebagaimana dulu pernah dipekerjakan untuk Abdullah bin Al-Faraj. Sama seperti
dulu pula, ketika adzan dzuhur dan ashar berkumandang, pemuda itupun minta izin
kepada Abdullah untuk menunaikan shalat berjama’ah di mesjid.
Setelah sore, maka Abdullah pun memberikannya upah sebesar yang
telah disepakati. Ternyata Abdullah puas terhadap pekerjaan pemuda tersebut
akan diberi upah sekaligus tipsnya, pemuda itu mengambil upahnya dan menolak
tips yang diberikan oleh Abdullah bin AL-Faraj.
Beberapa waktu kemudian, Abdullah membutuhkan tenaganya kembali.
Dan sesuai dengan pengetahuan yang ia ketahui, maka Abdullah pun mencarinya di
pasar pada hari sabtu. Tetapi setelah dicarinya ke sana – ke mari di sekitar
pasar, pemuda sederhana itu tidak ditemukannya. Lalu, ia pun bertanya kepada
orang-orang yang berada di pasar tentang pemuda itu, dan salah seprang
menjawab, “Dia sedang sakit.”
Orang itupun menambahkan, “Pemuda itu tiap sabtu selalu datang ke
pasar ini dan dia selalu berkerja dengan imbalan satu seperenam dirham. Dengan
uang satu seperenam dirham itulah dia dapat makan setiap hari. Dan kini dia
sedang menderita sakit.”
Maka Abdullah pun menanyakan alamat rumah tersebut kepada orang
itu. Setelah orang itu memberikan alamatnya, Abdullah segera menuju ke kediaman
pemuda yang sedang ia cari tersebut. Ternyata pemuda itu tinggal si sebuah
rumah milik seorang wanita yang telah lanjut usia. Ketika wanita lanjut usia
itulah yang ditemui oleh Abdullah pertama kali, maka Abdullah pun bertanya
kepadanya, “Benarkah di sini kediaman seoran pemuda yang suka melakukan
perkejaan serabutan ?”
“Sejak beberapa hari ini dia menderita sakit,” jawab wanita renta
itu dengan suara tuanya.
Abdullah pun meminta izin kepada wanita tua itu untuk menemuinya.
Wanita renta itu segera mempersilahkan Abdullah masuk dan menunjukkan tempat
pemuda tersebut berada. Ternyata benar, pemuda berwajah pucat pasi itu sedang
berbaring sakit keras dengan berbantal sebuah batu bata.
“Assalamu’alaikum,” sapa Abdullah kepadanya.
“Wa’alaikumus salam wa rahmatullah wa barakatuh,” jawab pemuda
tersebut.
Abdullah segera bertanya kepadanya,”Adakah yang bisa kubantu untukmu?”
“Ya, jika Anda bersedia,” kata Abdullah.
“Jika aku telah meninggal dunia nanti, tolong jualkan sekop ini.
Tolong cucikan jubah bulu dan kain sarung ini. Lalu gunakan kedua akinku ini
untuk mengafaniku. Sobeklah saku jubah ini kerena didalamnya ada sebuah cincin.
Tanyakan kapan Khalifah Harun Ar-Rasid keluar dari istananya. Bila Anda sudah
mengetahuinya, hadanglah dia dan ajaklah dia berbicara serta tunjukanlah cincin
itu kepadanya, niscaya dia akan memanggil Anda. Jika Anda sudah menghadapnya,
serahkanlah cincin itu kepadanya. Ingat ! Ini harus dilakukan setelah aku
dimakamkan nanti!” kata pemuda itu.
“Ya,” jawab Abdullah menyanggupinya.
Kemudian pemuda itu sakit keras selama beberapa waktu dan akhirnya
meninggal dunia. Abdullah bin Al-Faraj pun segera menunaikan apa yang
diwasiatkan olehnya; menjual sekopnya kemudian mencuci jubah dan sarungnya
serta menggunakan kedua kain itu sebagai kain kafan jenazahnya. Setelah jenazah
pemuda itu dimakamkan, maka Abdullah pun aktif mencari informasi kapan Khalifah
Harum Ar-Rasyid keluar dari istananya.
Setelah mencari-cari tentang hal tersebut, akhirnya tahulah
Abdullah kapan Khalifah akan keluar dari istananya. Maka pada hari yang telah
dinanti-nantikannya itu, Abdullah segera mencari jalan yang akan dilalui oleh
sang Khalifah dan duduk di tepi jalan tersebut. Akhirnya terlihatlah rombongan
Khalifah Harun Ar-Rasid semakin dekat dengan tempat ia duduk. Ketika sang
Khalifah melintas di depannya, Abdullah segera berteriak,”Wahai Amirul
Mukminin, aku mempunyai sebuah titipan untuk tuan !”seraya dia tunjukkan cincin
milik pemuda itu.
Ketika Khalifah mendengar seruan tersebut dan melihat cincin yang
dipegang Abdullah, segera saja Khalifah dan mengajaknya naik ke atas
kendaraannya. Rombongan Khalifah segera pulang menuju istana sedangkan Abdullah
belum juga diajak bicara oleh Khalifah sehubungan dengan tindakannya tadi.
Sesampainya di istana, Khalifah Harun Ar-Rasyid memanggil Abdullah
bin Al-Faraj untuk menghadapnya. Abdullah pun segera masuk ke ruangan di mana Khalifah
berada. Ketika dia sudah masuk, Khalifah lalu memerintahkan semua orang yang
ada agar meninggalkan ruangan.
Semua yang ada di situ pun bergegas keluar meninggalkan Abdullah
seorang diri di hadapan Khalifah. Ruangan menjadi sunyi senyap. Pertanyaan
Khalifah Harun Ar-Rasyid memecah suasana tersebut, “Siapakah Anda ?”
“Abdullah bin Al-Faraj.”
“Dari mana Anda mendapatkan cincin ini ?” tanya Khalifah kepada
Abdullah.
Mendengar pertanyaan tersebut, Abdullah menjawabnya dengan
bercerita tentang pertemuannya dengan seorang pemuda berwajah pucat pasi hingga
kematian pemuda itu.
Mendengar cerita yang dituturkan oleh Abdullah, seketika itu pula
Khalifah Harun Ar-Rasyid menangis. Tangisan beliu membuat Abdullah merasa iba
kepadanya. Setelah tangis Khalifah agak reda, Abdullah merasa yang tidak tahu
mengapa Khalifah menangis ketika mendengar ceritnya, akhirnya bertanya kepada
sang Khalifah, “Wahai Amirul-Mukminin, adakah hubungan Anda dengannya ?”
“Dia adalah putraku,” jawab sang Khalifah.
“Bagaimana mungkin itu terjadi ?” tanya Abdullah hreran memohon
penjelasan.
“Dia lahir sebelum aku mendapatkan ujian menjadi Khalifah. Saat itu
dia tumbuh dengan baik, rajin mempelajari Al-Qur’an, dan menuntut ilmu. Ketika
aku telah diangkat menjadi Khalifah, dia pun pergi meninggalkanku dan tidak
membawa sedikit pun bekal harta yang kumiliki. Kepada ibunya, aku lalu
menyerahkan cincin ini. Ini adalah yaqut yang nilainya sangat mahal. Oleh
ibunya, cincin ini lalu diberikan kepadanya, dengan tujuan agar suatu saat kelak
cincin ini membawa manfaat baginya. Ibunya telah meninggal dunia, dan sejak itu
aku tidak pernah mendengar berita tentang anakku dan baru sekarang ini engkau
membawa berita perihal putraku itu,” kata Khalifah Harun Ar-Rasyid menjelaskan.
“Nanti malam, tolong antarkan aku ke makamnya !” kata Khalifah
lagi.
Menjelang malam, Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Abdullah bin Al-Faraj
berdua keluar dari istana berjalan kaku ke makam pemuda sederhana yang ternyata
putra seorang Khalifah. Akhirnya, sampailah mereka di makan putra sang
Khalifah, lalu Khalifah Harun Ar-Rasyid pun duduk bersimpuh di depan makam
putranya sambil menangis pilu.
Mereka berdua terus berada di makam itu sepanjang malam. Hingga
saat fajar mulai menyingsing, Khalifah pun mengajak Abdullah pulang seraya
berkata, “Engkau harus berjanji kepadaku untuk bersedia datang setiap hari
menemaniku ke makam putraku !”
Maka Abdullah pun berjanji kepada sang Khalifah. Sejak saat itu
mereka selalu berangkat dan pulang bersama dari berziarah ke makam putra Khalifah
Harun Ar-Rasyid. (assyd)