Kerudung adalah 'pemandangan' biasa di kalangan kaum muslimin yang
taat beragama.Tidak semua wanita muslim dikenal dengan sebutan muslimat,
menggunakannya. Namun porsi pemakainya cukup besar guna melekatkan predikat
'biasa' di atas. Ke pasar, rumah sakit, masjid maupun pesta dan upacara,
pendeknya ke semua keperluan di luar rumah , kerudung selalu di pakai, begitu
juga dirumah, kalau sedang ada tamu.
Ada yang berwarna-warni, terkadang dihiasi renda dan sulaman indah:
ada juga yang polos, hanya pinggirnya saja yang disentuh benang jahitan. Ada
yang memang dipakai menutup rambut seluruhnya, namun tidak kurang pula yang
hanya disangkutkan pada bahu, tidak sampai menghalangi pandangan mata keseluruh
sanggul di 'sasak' lebar-lebar, dengan diameter tidak kurang dari ban sekuter
Vespa atau Bajaj! Biasanya yang begini adalah tanda krisis identitas: tidak
berani meninggalkan identitas diri sebagai muslimat, tetapi enggan disebut
kampungan.
Tidak disangka tidak dinyana, penggunaan kerudung dapat juga
menimbulkan pertentangan pendapat, antara mereka yang menentang dan yang
mempertahankan. Tidak terduga sebelumnya kerudung dapat menjadi titik sengketa,
fokus sebuah konflik sosial.
Padahal, tadinya masalah penggunaan kerudung dianggap masalah
sepele saja. Yang masih kuat bertahan pada identitas 'kesantrian' terus
memakainya, yang sudah tidak merasa perlu sudah meninggalkannya. Juga ada
peragu yang menggunakannya di atas bahu sewaktu ada pesta atau upacara.
Apakah gerangan yang membuat pemakaian kerudung menjadi masalah
peka, padahal sekian lama ia 'dibiarkan' pada keputusan pribadi masing-masing
di kalangan kaum muslimat?
Masalahnya berkisar pada munculnya kerudung itu sendiri sebagai
simbol. Selama ini , simbol tersebut, yaitu simbol ketaatan beragama bagi yang
memakai dan simbol 'kekampungan' bagi yang tidak mengenakannya, hidup
berdampingan secara damai. Masing-masing berkembang didunianya sendiri,
bagaikan polisi dan pencuri, seirama dengan pelapisan masyarakat begitu ruwet
dan kompleks. Tidak pernah ada pertentangan terbuka, tidak pernah didiskusikan
perlu atau tidaknya menggunakan kerudung. Apalagi dilokakaryakan atau di
seminarkan.
Masalahnya menjadi berbeda, ketika berkembang sebuah kesadaran baru
di kalangan kaum remaja muslim. Mereka adalah generasi yang serius melihat
segala sesuatu dalam hidup ini, dari jerawat di pipi hingga pandangan hidup
yang diidealkan masing-masing. Begitulah, ketika seorang anutan yang dianggap
memiliki wewenang penuh merumuskan 'kebenaran agama' memerintahkan remaja
asuhannya untuk memelihara 'aurat' berdasarkan ketentuan Islam. Dengan serta
merta anjuran itu diikuti, termasuk oleh siswi SMA lalu mengenakan kerudung
dilingkungan sekolah. Sudah tentu ini 'pemandangan' tidak , jauh dari
'kebiasaan' berseragam sekolah tanpa tutup kepala sama sekali.
Dua hal 'dilanggar' oleh perbuatan itu. Pertama, 'konsensus' selama
ini, yang juga tidak begitu didasari dahulu, bahwa kerudung bukanlah pakaian
yang 'layak' untuk siswi-siswi sekolah nonagama. Kedua, kecenderungan kepada
uniformitas sikap dan perilaku, yang dicoba untuk 'ditegakkan' oleh lingkungan
pendidikan nasional kita. Dari pesuruh sekolah sampai Menteri P dan K, besar
sekali nampaknya kecenderungan untuk menyeragamkan pandangan sikap dan perilaku
'keluarga besar pendidikan nasional'
Sudah tentu 'konsensus' dan kecenderungan di atas segera
mengeluarkan reaksi balik atas prakarsa siswi SMA yang menggunakan kerudung
pergi ke sekolah itu. Dapat di terka, senjata utama yang digunakan pihak
pimpinan sekolah adalah 'pelanggaran disiplin'. Benar saja, atas dalih itu sang
siswi itu dikeluarkan dari sekolahnya.
Pemecatan dapat dilakukan, selama ada kesamaan pandangan antara
pihak 'penegak disiplin' dan pihak-pihak lain di luar. Berarti dalam
kasus-kasus di mana ada kejelasan bahwa si 'pelanggar disiplin' memang bersalah
atas persetujuan universal semua pihak.
Kesulitannya adalah kalau cukup banyak jumlah orang yang tidak
sependapat, seperti dalam kasus kerudung di Bandung baru-baru ini. Lalu
disebutkanlah hal-hal yang meragukan kebenaran tindakan disipliner yang
dijatuhkan atas diri 'siswi berkerudung' itu. Pelanggaran hak pribadi sang
siswi untuk mengenakan pakaian yang disenanginya, tuduhan pimpinan sekolah
bersikap 'memusuhi Islam' dan lain-lain tuduhn lagi dilemparkan seenaknya.
Apa yang dilupakan kebanyakan orang adalah penglihatan global
terhadap masalah kerudung itu. Ia tidak lain adalah pencerminan dari kuatnya
tuntutan di kalangan remaja muslim, agar ajaran Islam dilaksanakan secara
tuntas dan konsekuen. Ia adalah bagian dari ketekunan yang semakin bertambah
untuk meramaikan masjid, merumuskan 'sikap Islam' terhadap berbagai masalah,
dan keberangan terhadap apa yang digeneralisasi sebagai 'pandangan-pandangan
sekularistis' di kalangan kaum muslimin sendiri. Kasus kerudung itu adalah
bagian dari meningkatnya kesadaran beragama di kalangan kaum remaja muslim
dewasa ini. Kesadaran itu muncul dari banyak sebab. Diantaranya adalah
kekecewaan terhadap kebangkrutan teknologi dan ilmu pengetahuan modern , yang
diredusir kedudukannya menjadi hamba kekuasaan modal saja, tanpa membawa
perubahan mendasar atas tingkat kehidupan manusia. Juga kekecewaan melihat
terbatasnya kemampuan umat manusia untuk mencari pemecahan hakiki atas peroalan-persoalan
utama yang dihadapinya. Tidak kurang pentingnya adalah juga kekecewaan mereka
terhadap kegagalan elite kaum muslimin di seluruh dunia, yang tidak mampu
mengangkat derajat agama mereka di hadapan tantangan 'pihak luar' terhadap
Islam.
Dapat di mengerti kalau kesadaran itu juga mempunyai imbas fisiknya
atas perilaku para remaja muslim di mana-mana termasuk mereka lalu memelihara
jenggot dan memakai kerudung. Perilaku seperti itu tidak sepatutnya diremehkan
dan disepelekan, karena ia merupakan bagian dari kesadaran untuk menegakkan
Islam sebagai 'jalan hidup'. Boleh kita tidak setuju dengan aspirasi holistik
seperti itu, namun dihargai sebagai upaya untuk menemukan Islam dalam kebulatan
dan keutuhan, jadi motifnya berwatak transendental.