Akhir-akhir ini sering terdengar pertanyaan, benarkah si Fulan
warga NU (Nahdhatul Ulama) Karena orang yang bersangkutan tidak pernah menjadi
pengurus NU, maka dipandang tidak layak untuk mencalonkannya sebagai warga NU
bagi jabatan Walikota/Bupati/Gubernur atau Wakilnya . Pertanyaan ini adalah sesuatu yang serius, yang memerlukan jawaban
jelas, agar tidak membuat keresahan di kalangan warga NU sendiri.
Pertanyaan ini dapat dirumuskan dengan cara lain: haruskah orang
memiki tanda keanggotaan NU untuk dianggap sebagai warga NU? Kalau demikian
halnya, bukankah pak Idham Chalid sebagai Ketua PBNU pernah mencalonkan Tan Ho
Kim alias Haji Hasan sebagai Menteri keuangan di masa pemerintahan Bung Karno.
Ini juga berhubungan dengan anggapan yang selama ini berkembang di
kalangan NU sendiri, bahwa hanya mereka yang menjadi pengurus NU lah yang
diutamakan, termasuk untuk jabatan-jabatan pemerintahan, seolah-olah hanya
merekalah yang “berhak” mewakili NU ke luar. Jika benar demikian, bagaimana
dengan julukan “penyair NU” bagi Zawawi Imron”, dari Sumenep, yang seumur hidup
tidak pernah menjadi pengurus NU manapun? Kuat mana antara “penerimaan
masyarakat NU” dibandingkan dengan anggapan di atas?
Jika diikuti pandangan serba formalistik di atas, maka NU akan
segera sangat mengecil dan tidak punya arti apa-apa dalam kehidupan bangsa.
Karenanya pendapat seperti itu tidak dapat dibenarkan selamanya. Pendapat itu
tidak dapat tidak harus diubah, karena ia mulai “menjangkiti” NU sendiri
sebagai gerakan Islam.
Sebagaimana kita ketahui kaum muslim ada yang menjadi anggota
gerakan Islam, termasuk mereka yang memperoleh Kartu Tanda Anggota NU (KARTANU). Jadi
pemilikan Kartu Tanda Anggota digunakan sebagai ukuran keanggotaan dalam NU.
Formalisasi seperti ini menafikan kenyataan sebelumnya, bahwa kaum muslimin
yang tidak menjadi anggota gerakan Islam apapun disebabkan mereka sebagai
anggota Koprs Pegawai RI (Korpri) atau berada di lingkungan TNI.