"Sesungguhnya Allah akan menurunkan seorang pembaharu masalah
agama setiap paruh seratus tahun." (Al-Hadits)
"Sesungguhnya Allah megutus seorang khalifah di muka bumi,
ketika bumi telah dipenuhi kezaliman, kegelapan dan penyimpangan, dan khalifah
itu menjadi penegak keadilan. Bahkan ketika usia dunia tinggal sehari, Allah
tetap akan memanjangkan hari-hari dunia itu, sampai sang Khalifah itu
benar-benar ada. Ia muncul dari keturunan Rasulullah SAW. dari jalur Fathimah,
nmanya mengikuti jejak nama Rasul SAW., dibaiat sebagai Khalifah antara Rukun
dan Al-Maqam. Ia mengikuti jejak perilaku Rasulullah saw……"
(Syeikh Muhyiddin Ibnu Araby, dalam Al-Futuhatul Makkiyyah)
Imam al-Mahdi adalah tokoh yang ditunggu-tunggu munculnya ketika
dunia menjelang kiamat, sebagaimana ditunggunya Isa Al-Masih yang hendak turun
kembali ke muka bumi. Banyak kontroversi mengenai ada dan tidaknya Al-Mahdi,
sekaligus mempertentangkan zaman dimana Al-Mahdi turun di muka bumi. Golongan
Syiah, misalnya meyakini al-Mahdy adalah Ibnu Hanafiyah, salah satu keturunan
Rasul yang menghilang, dan kelak akan muncul di akhir zaman. Versi Syiah ini
mendominasi belahan bagian klompok Syiah yang mengklaim Al-Mahdi adalah Ibnu
Hanafiyah itu.
Namun kajian Al-Mahdy paling representatif justru muncul dari
kalangan Sufi. Terutama Syeikh Muhyiddin Ibnu Araby (560-638 H) dalam kitabnya
Al-Futuhatul Makkiyah menyinggung panjang lebar mengenai Al-Mahdi dalam bab ke
366, mengenai kedudukan para menteri di lingkungan Khalifah Al-Mahdy yang
muncul di akhir zaman. Tinjauan Ibnu Araby menjadi sangat dalam karena ia
secara metafisis mampu memadukan pesan-pesan dan mission Al-Mahdy dalam
perpektif Sufi. Dalam kajian ini, Ibnu Araby membedakan posisi Al-Mahdy dengan
Khatamul Auliya (pamungkas para wali) dan Isa Al-Masih. Masing-masing memiliki
missi dan fungsi berbeda di akhir zaman.
Disebutkan, bahwa Al-Mahdy hadir sebagai Khalifah yang mengikuti
jejak akhlak Rasulullah saw. tetapi, dengan mengangkat pedang untuk menegakkan
keadilan di muka bumi. Kepastian hukum, keadilan, ketegasan, keberanian, dan
kemampuan representasi atas Risalah Nabi Muhammad SAW, mewujudkan dirinya
sebagai seorang pemimpin yang ideal di masa depan, lebih dari sekadar futurologisme
yang berkembang di Jawa, semisal Ratu Adil maupun Satrio Piningit.
Al-Mahdy menghidupkan Islam ketika ummat Islam mengalami degradasi
paling hina, bahkan ia di beri kemampuan menyatukan pandangan dalam satu titik
ideologis tentang agama, dan pada saat yang sama aliran-aliran dalam Islam
bersatu padu di bawah naungan ideologi keagamaan al-Mahdy. Disamping ia telah
menegakkan kepastian hukum dan keadilan, bahkan kaum Sufi yang masuk dalam
kategori elit Sufi (al-‘Arifun) ikut membaiat Al-Mahdy ini, dan tunduk dalam
tata sosial dan kenegaraannya.
Al-Mahdy sendiri memiliki sembilan kemampuan ilmu pengetahuan, yang
masing-masing juga dimuliki oleh para menterinya. Sembilan perkara itu antara
lain: 1)Ketajaman mata hati; 2) Mengetahui Khithab (pesan) Ilahi ketika bertemu
(komunkasi) denganNya, 3) Ilmu translasi dari Allah, 4) Praktek tata tertib
kualifikasi bagi para penguasa (tatanegara-pemerintahan), 5) Ilmu Cinta kasih
sayang dalam amarah, 6) Hal-hal yang menjadi kebutuhan bagi kemakmuran baik
secara filosufis maupun praktis, 7) Ilmu mengenai interaksi berbagai perkara
satu sama lain; 8) Ilmu mengenai kebutuhan atas hajat publik, 9) dan
Pengetahuan metafisika untuk kebutuhan tertentu. Sembilan elemen ini harus
dimiliki oleh para menteri Al-Mahdy, dan berarti Al-Mahdi memiliki kemampuan
akumulatif secara par-exellent dari sembilan perkara tersebut.
Pertama mengenai ketajaman matahati, yang berarti ia tidak pernah
salah dalam berdoa kepada Allah swt, karena benar-benar mengikuti jejak Nabi
saw. Al-Mahdy dalam suasana Ma’shum (terjaga dari dosa). Artinya bukan berarti
ia tak pernah bersalah, namun setiap ia hendak melakukan kesalahan ada teguran
langsung dari Allah swt. Di sini pula, ia bertemu dengan para sahabatnya di
alam Arwah, baik yang berdimensi kecahayaan maupun api tanpa adanya kehendak
dari alam Arwah. Katajaman mata hati, juga berdimensi bahwa ia senantiasa mampu
memandang segala hal yang nyata dalam perspektif maknwai hakikinya secara
langsung.
Kedua mengenai resp[onsi terhadap Khitab Ilahy, ketika mendapatkan
Ilham, sebagaimana disebutkan dalam al-qur’an,
"Dan tidaklah bagi manusia ketika Allah berbicara kepadanya,
melainkan melalui wahyu, atau dari balik hijab, atau melalui utusan." Tiga
dimensi Khitab Ilahy itu memang melimpah pada Al-Mahdy dan para menterinya,
dfan karenanya ia sekaligus sebagai Sufi besar yang mengusai pengetahuan
mengenai Tajallynya (penampilan) Ilahi.
Ketiga, mengenai Translasi dari Allah, adalah kemampuan
menerjemahkan pesan-pesan Ilahi secara kontekstual, secara esensial, dan dari
segi ruh atas bentuk dan huruf-hurufnya pada Kalamullah. Ia melihat Kalamullah
bukan pada tekstualnya, tetapi pada esensi dan ruhnya. Tidak lebih.
Keempat, kulaifikasi atas para penguasa terhadap pemerintahannya.
Berarti soal proporsi dan transparansi serta posisi yang tepat yang harus
dimiliki oleh seorang birokrat.
Kelima, Cinta Kasih dalam amarah, terlaksana ketika menegakkan
hukum dan ekskusi. Dalam hadits Nabi ditegaskan, " Hendaknya jangan
memutuskan hukum ketika seseorang dalam keadaan marah." Se dzalim apa pun
pihak yang dihukumi, ketika memutuskan atau mengekskusi, maka tidak ada amarah
di sana, yang ada adalah Cinta dan kasih sayang.
Keenam, pengetahuan tentang kemakmuran semesta, yakni pengetahuan
alam fisik muka bumi dan sekaligus alam samawatnya (hakikatnya). Yakni dimensi
psikhografis atas wujud alam semesta ini
Ketujuh, mengenai hajat publik. Hajat publik yang muncul dari
sumber potensi alam semesta ini mampu dikelola secara merata dan tertib oleh
sang Imam ini. Inilah kemampuan pengelolaan ekonomi semesta.
Kedelapan, Ilmu interaksi perkara satu sama lainnya, termasuk
interaksi perubahan dan pergantian waktu siang dan malam. Interaksi ini tidak
hanya pada dimensi material tetapi juga dimensi spiritual.
Kesembilan, pengetahuan metafisis, dimana ia mendapatkan anugerah
Allah untuk mengetahui apa yang berhubungan antara kehendak Allah dengan waktu
dunia. Di sinilah rupanya ada manajemen syukur dan manajemen sabar yang
diterapkan oleh sang Imam.
Kehadiran Al-Mahdy posisinya sebagaimana kehadiran Rasulullah saw,
karena ia adalah penerus jejak-jejak Rasul. Karena itu kehadirannya adalah
Rahmatan lil-‘Alamin.
Sembilan perkara inilah yang menjadi akumulasi dalam sosok seorang
Imam Mahdy dimana hari Kiamat tidak akan tiba sebelum munculnya sosok dalam
kategori moral dan spiritual seperti dirinya.
Dari sembilan disiplin tersebut kelak seortang Al-Mahdy masih harus
mengetahui tentang Ilmu Isytirak fil Ahadiyah (Pengalaman metafisis mengenai
keragaman dalam Ke-Esaan), sebagaimana ayat, "Janganlah seseorang
memusyrikkan Tuhannya dalam ibadah." Dan , "Katakanlah, Dia adalah
Allah Yang Maha Esa." Dari ilmu ini akan memunculkan sejumlah disiplin
mengenai dunia metafisika dalam Sufisme dengan segala perniknya. Wallahu A’lam.
Refleksi
Dari uraian di atas, kita bisa menrenung lebih jauh betapa
kualifikasi moral seorang Al-Mahdy sangat jauh dari apa yang kita bayangkan
dari sekedar perspektif kita tentang seorang pemimpin dunia yang kita tunggu.
Al-Faraby dalam teorinya tentang Al-Madinatul Fadlilah (Kota Utama) yang
dinilai banyak terpengaruh dari pandangan Plato, pernah merumuskan kualifikasi
seorang pemimpin agung di Kota Tuhan di muka bumi, dimana seorang pemimpin
harus sekaligus seorang Ulama, seorang Sufi dan seorang filosuf. Sebagai
pandangan utopis, tentang pandangan ini adalah bagian dari impian seseorang
tentang hadirnya pemimpin agung masa depan.
Sebagaimana, hadirnya Dajjal di masa depan dalam arti yang paling
substansial, sesungguhnya Dajjal-dajjal kecil juga sudah hadir di sekeliling
kita. Hal yang sama di era kegelapan ini, Al-Mahdy-al-Mahdy miniatural juga
akan hadir dan bahkan secara sufistik sudah hadir saat ini di muka bumi.
Miniatural Al-Mahdy adalah para Tokoh dan Pemimpin yang hanya merneriakkan
perjuangan "Ummaty…Ummaty…" Duh, bangsaku…nasib bangsaku. Bukan duh,
nasib diriku, posisiku, keluargaku, golonganku….
Kita pernah mengmpikan Ratu Adil, Satrio Piningit, bahkan Al-Mahdy.
Tetapi mari kita refleksikan pandangan Ibnu Athaillah as-Sakandary mengenai
munculnya Satrio Piningit dalam makna Sufistik yang hakiki. "Pendamlah
dirimu dalam tanah gundukan kosong, sebab biji yang tidak ditanam dalam tanah
bergunduk itu, kelak akan tumbuh tidak sempurna."
Pingitlah diri anda wahai para satria, agar kesatriaanmu tumbuh
paripurna di hadapan Allah. Sebab, mereka yang sedang menanamkan biji keimanan
dalam jiwanya tidak akan tumbuh paripurna sebagai Satria Ilahi, ketika tidak
ditanam dalam tanah kefanaan yang tersembunyi dalam Rahasia Ilahi.
Ada sejumlah Sufi mengalami limpahan Al-Mahdi, sebagai derajat atau
Haal (gerakgerik anugerah Ilahi). Dalam konteks inilah sang Sufi semacam
mendapat option untuk sebuah lembaga Hidayah dari Allah, ketika cermin kefanaan
dirinya di hadapan Allah disemai oleh Asma-Nya Al-Hadi (Yang Maha Memberi
Hidayah).
Wallahu A’lam bis-Showab