Kiai Fatah dan Kiai Masduki adalah dua orang di antara sekian orang
kiai yang hidup di desa Tambakberas. Bersama-sama, kesemua kiai itu
menghidupkan kegiatan keagarnaan dan mengelola pesantren di desa tersebut,
sebagai amanat Kiai Wahab Chasbullah.
Kiai Fatah tinggal di kompleks utama Bahrul Ulum itu, di sebelah
timur sungai yang membelah dua desa yang terletak dua kilometer di utara kota
Jornbang itu. Kiai Masduki tinggal di sebelah barat sungai.
Kiai Fatah jadi pemimpin formal kompleks utama dengan ratusan
santri yang tinggal, termasuk mengelola semua jenis pendidikan di lingkungan
tersebut, Kiai Masduki hanya mengurusi beberapa belas santri saja, itu pun di
waktu mereka tidak bersekolah di kompleks utama.
Kiai Fatah menjadi agamawan penuh, dalam artian tidak memiliki
pekerjaan apa pun selain menjadi kiai di pesantrennya. Kiai Masduki adalah
petani yang rnengerjakan sawahnya sendiri dengan susah payah, dan mengusahakan
pekarangan rumah yang di tanaminya dengan tanaman kebun.
Kiai Fatah rnengajar di madrasah, menggunakan peralatan sekolah
dengan jam pelajaran teratur. Balaghah (retorika) adalah mata pelajaran
kesayangannya,juga usul fiqh. Lain dari itu, tidak mau ia mengajarkannya di
sekolah. Paling-paling di luar jam sekolah, sebagai pengajian weton yang
diikuti para santri tanpa memandang kelas sekolah masing-masing. Semacam kuliah
umum atau courses menurut bahasa program puma sarjana di universitas modern.
Kiai Masduki sebaliknya tidak mengajar di kelas. la mengajar di
suraunya sendiri, menunggu santri yang akan mengaji kepadanya. Seperti dokter
praktek yang menunggu kedatangan pasien.
Lima kali sehari ia buka praktek. Sehabis salat subuh pada dini
hari, sehabis salat zuhur di tengah hari, sehabis salat 'asar di sore hari,
sehabis salat magrib di senja hari dan sehabis salat 'isya di malam hari.
Siklus kehidupan ini tidak mengenal nilai waktu secara modern,
tidak dibatasi oleh pagaran waktu yang umum digunakan di luar. Pengajian siang
terhenti kalau kereta api kejurusan kota Babat melalui desa Tambakberas. Kalau
peluit kereta tidak kunjung terdengar pengajian tidak selesai secara cepat.
Tiap santri yang rnengaji menunggu giliran masing-masing. Kalau tiba
gilirannya, akan meletakkan teks yang ingin di pelajarinya di atas meja yang
terletak di muka sang kiai. Kiai Masduki akan mernbaca halarnan yang di buka
oleh santri, walaupun teks itu di letakan secara terbalik, sang kiai mernbaca
teks itu dari atas, santrinya memberikan catatan di bawab baris yang dibaca.
Habis sebuah subyek dibacakan dan diterangkan, sang kiai beralih
kepada santri yang lain. Lagi-lagi seperti dokter yang berpraktek. Kalau dokter
tidak menampik pasien yang berpenyakit apapun, Kiai Masduki tidak pernah
menolak santri yang membawa kitab teks apapun.
Kiai Fatah pandai berpidato, bahkan termasuk orator yang memikat
hati. Bermacarn-macann ilustrasi sejarah dikernukan untuk menggambarkan pesan
yang disampaikan secara hidup. Banyak lelucon diceritakannya untuk mencegah
datangnya kantuk para hadirin, dan banyak hafalan ayat AI-Qur'an dan hadith dan
syair-syair Arab dilontarkannya untuk meyakinkan orang banyak.
Kiai Masduki, sebaliknya, mungkin tidak pernah berpidato di muka
umum seumur hidupnya. Kalaupun 'berperan' dalam majelis-majelis keagamaan di
muka urnum, paling-paling hanya untuk membacakan doa penutup atau mernirnpin
tahlil. Kiai Fatah sering menggoda dan mempersilakan Kiai Masduki memberikan
sambutan. Dan Kiai Masduki akan selamanya menjawab nanti saja, sehabis sampeyan
memimpin tahlilan. Maklumlah Kiai Fatah sebagai orang yang tidak pernah urut
dan runtut kalau memimpin tahlil.
Perbedaan gaya, cara hidup dan pola pembagian kegiatan antara
keduanya tidak menutupi kenyataan akan persamaan yang mendasar antara keduanya:
keteguhan hati untuk mengabdikan diri kepada tugas hidup mengajarkan ilmu-ilmu
agama di lingkungan pesantren. Kiai Fatah dalam bahasa kini dapat dikatakan
'kiai full timer', sedangkan Kiai Masduki 'kiai part timer' ( karena merangkap
bertani) . Tetapi keduanya mengkhususkan pengabdian mereka kepada upaya
'menuntut ilmu'.
Tidak heran kalau keduanya lalu diarahkan jalan pikiran mereka oleh
tugas hidup 'menuntut ilmu *itu, watak mereka dibentuk oleh kecintaan kepada
ilmu-ilmu agama , dan sikap hidup mereka sepenuhnya ditentukan oleh
kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh ilmu-ilmu agama itu sendiri .
Mereka menjadi orang yang tulus dalam mengarungi lautan hidup tulus
kepada panggilan hidupnya, tulus kepada orang lain (tidak pernah mengernukakan
buruk sangka mereka kepada orang lain) dan tulus kepada kebenaran yang datang
dari keputusan yang diambil bersama.
Tidak heranlah jika mereka tidak pernah menyerang pihak lain,
berusaha sejauh mungkin tidak menyakiti hati golongan lain, dan lebih-lebih
lagi bersikap toleran dalam persoalan yang menyangkut kepentingan urnurn.